Karya MAHAN JAMIL HUDANI
APA yang Nurul Huda ceritakan padaku itu sungguh mengusik pikiranku. Kenapa ia menceritakan semuanya baru sekarang. Sudah terlambat dan menyisakan sesak. Tapi aku tentu saja tak bisa menyalahkan dirinya kerana aku memang sangat jarang bahkan memang telah lama tak bertemu dengannya. Kami terpisah belasan tahun sejak sama-sama lulus dari bangku SMP.
“Ya, saat aku mengutarakan cintaku pada Fitri, ia tak bisa menerimanya dengan alasan ia sedang dekat dan menunggu seseorang yang ia harapkan,” ulang lelaki yang usianya sepantaran denganku itu. Awalnya aku menanggapi ceritanya biasa saja. Aku seakan bisa menduga karena aku memang sudah lama mengenal Fitri, bahkan aku pernah mendekati perempuan itu dan hasilnya sama seperti yang dialami Nurul. Fitri menolak cintaku. Tapi yang membuat aku terkejut adalah pernyataan Nurul berikutnya.
“Fitri sedang menunggumu saat itu. Ia berkata jika ia tak bisa menerima cintaku karena sedang berharap kau datang padanya.” Ia pada awalnya penasaran ingin tahu sekali siapa lelaki yang dimaksud Fitri hingga perempuan itu menolak cintanya. Setelah beberapa kali mendesak Fitri, perempuan itu lalu menyebut namaku. Sesungguhnya itulah yang mengusik pikiranku.

“Fitri sedang menunggumu saat itu. Ia berkata jika ia tak bisa menerima cintaku karena sedang berharap kau datang padanya.” (GAMBAR HIASAN)
“Kapan Kau menyatakan cintamu pada Fitri, Rul?”
“Tujuh tahun yang lalu,” jawab Nurul.
“Lalu kau mundur setelah Fitri menolak cintamu?” Tanyaku kembali.
“Ya, tentu saja. Terlebih aku tahu jika ia sedang menunggumu.”
“Setelah itu, pernahkah kau mencoba benar-benar mencari tahu tentang kebenaran ucapan Fitri?” Cecarku.
“Ya. Aku mencari tahu dan mengamatinya. Aku melihat keanehan di situ.”
“Ya, aku juga kini merasa ada yang aneh, Rul,” aku mendesah sambil memegangi hidungku yang sebenarnya tak terasa gatal. Kami lalu terdiam cukup lama.
“Itulah kenapa kini aku menemuimu setelah sekian musim berlalu dan hal itu masih mengganjal fikiranku,” lanjut Nurul.

“Sepuluh tahun lalu, aku pernah menyatakan cintaku pada Fitri. Ia tak bisa menerima cintaku karena kedatanganku sudah terlambat. (GAMBAR HIASAN)
“Aku rasa tak ada gunanya lagi kita membahas itu, Rul. Kita semua kini telah memiliki kehidupan dan keluarga masing-masing.” Nurul, teman kecilku di sekolah dasar itu tak bisa menerima pernyataanku. Ia mendesak aku untuk menceritakan hubunganku dengan Fitri. Aku jujur sebenarnya bingung juga untuk menjelaskannya. Aku sendiri sesungguhnya memiliki rasa keterkejutan yang luar biasa yang masih sulit kupercaya dan belum hilang juga dari pikiranku. Tak mudah untuk bisa menerima ini terlebih aku sesungguhnya memiliki perasaan yang dalam pada Fitri.
Aku sudah berusaha melupakannya sekuat mungkin dan butuh sekian musim untuk bisa melakukannya. Kedatangan Nurul justru mengusik perasaanku kembali pada Fitri.
***
Sepuluh tahun lalu, aku pernah menyatakan cintaku pada Fitri. Ia tak bisa menerima cintaku karena kedatanganku sudah terlambat. Ia akan menikah dengan seseorang. Fitri memang tak pernah menceritakan padaku siapa lelaki yang akan menikahinya. Bodohnya diriku, aku juga tak pernah benar-benar ingin tahu siapa lelaki itu. Aku saat itu hanya diam dan cenderung pasrah seperti seorang serdadu yang menerima kekalahannya padahal pertempuran belum usai. Medan perang masih terbuka lebar dan aku masih bisa mengatur strategi. Aku mundur karena telah kehabisan amunisi.
Faktanya setelah itu, aku memang melihat tak ada lelaki yang sungguh-sungguh dekat dengan Fitri. Bahkan Narto, seorang yang kudengar kabar sebagai kekasih Fitri, batal menikah dengan Fitri. Narto menikah dengan perempuan lain. Yahya, sahabatku yang sebelumnya tahu persis hubungan antara Fitri dan Narto – dan Yahya sendiri yang menceritakan langsung padaku jika Narto menikah dengan perempuan lain – selalu mendorongku untuk maju, memperjuangkan cintaku. Yahya memberi pertimbangan jika aku bisa mendapatkan perempuan itu. Sekali lagi, aku seperti telah kalah.
Itulah kenapa aku mundur dari Fitri padahal aku masih menyimpan perasaan cinta padanya waktu itu. Aku seharusnya berjuang karena aku memang melihat peluang untuk mendapatkannya. Aku berasumsi jika Narto itulah sesungguhnya seorang lelaki yang dikatakan Fitri akan menikahinya. Pada akhirnya, toh Fitri tak menikah dengan Narto.
Setelah itu aku memang mendengar jika Nurul mendekati Fitri. Kabar itu makin membuat ciut nyaliku. Nurul teman mainku saat kecil itu adalah seorang lelaki yang telah mapan, tentu jauh dibandingkan dengan diriku yang hanya seorang guru honorer.
“Aku sesungguhnya juga tahu persis hubungan Fitri dan Narto. Itulah kenapa aku berani mendekati dan menyatakan cintaku pada Fitri.” Jelas Nurul.
“Dan aku menganggap, Kau pasti mendapatkan Fitri,” timpalku.
“Kini aku yakin, sebenarnya Fitri menunggumu setelah ia gagal menikah dengan Narto.”
“Aku tak tahu soal itu, Rul.”

Faktanya setelah itu, aku memang melihat tak ada lelaki yang sungguh-sungguh dekat dengan Fitri. Bahkan Narto, seorang yang kudengar kabar sebagai kekasih Fitri, batal menikah dengan Fitri. (GAMBAR HIASAN).
“Nyatanya Fitri menolak cintaku dan memang tak ada lelaki lain yang sedang dekat dengannya.” Nurul lalu mengulang penjelasannya. Keanehan yang Nurul ungkapkan adalah, selain Fitri tak pernah dekat dengan lelaki lain, Fitri sering bercerita pada Nurul tentang diriku. Itu cukup membuat Nurul minder serta memiliki rasa cemburu. Ia percaya pada cerita Fitri walau ia juga merasa janggal jika kenyataannya aku tak pernah terdengar kabar atau terlihat dekat dengan Fitri.
“Kenapa kau percaya dan yakin sekali akan cerita Fitri jika setelah itu kau menyaksikan sendiri jika kau tak pernah melihat Fitri dekat denganku.”

“Kenapa kau percaya dan yakin sekali akan cerita Fitri jika setelah itu kau menyaksikan sendiri jika kau tak pernah melihat Fitri dekat denganku.”- (GAMBAR HIASAN)
“Aku tahu watak perempuan itu. Dia pribadi yang jujur, baik, dan menjunjung etika. Aku juga tahu sosok seorang Epik memang layak mendampingi Fitri.” Nurul berbicara penuh ketegasan sambil menyebut namaku.
“Entahlah, Rul. Aku sendiri tak tahu dan tak yakin akan hal itu.”
“Jujur aku dulu memang pernah mendengar Fitri dekat denganmu, Pik. Itu juga yang membuatku merasa telah terlambat datang padanya. Aku sendiri merasa tak yakin jika mampu bersaing denganmu, Pik.”
“Haha…sepertinya kita memang hanya sedang berasumsi saja, Rul. Bahkan dari dulu kita hanya berasumsi.”
“Itu Kamu, Pik. Aku tak sepenuhnya begitu. Seperti kataku tadi, aku masih mencoba mencari tahu.”
“Hmmmmm…..nyatanya kita berdua tak ada yang bisa mendapatkan Fitri.”
“Ya, itulah kesalahan kita, Pik.”
“Menurutku itu bukan kesalahan, tapi kebodohan, Rul.” Suaraku hampir tercekat mengucapkan kalimat itu. Aku kemudian terdiam cukup lama. Betapa Nurul juga cukup lama ingin bisa berjumpa denganku untuk sekadar membahas hal ini. Satu hal yang membuat dirinya kaget kemudian, ia juga mendengar kabar Fitri menikah beberapa tahun yang lalu justru dengan orang lain yang sama-sama tak kami kenal dan tak pernah terdengar ada kabar sedikitpun jika Fitri pernah dekat atau menjalin hubungan dengan lelaki tersebut.
Nurul tetap berkeyakinan jika Fitri memang menungguku saat itu. Sebelumnya Nurul telah mendengar kabar dari Yahya sahabatku, jika Fitri tengah dekat denganku. Nurul meyakinkanku jika ia pernah mencoba untuk menemuiku namun memang saat itu aku telah bekerja di kota lain.
“Sungguh aku kaget mendengar penuturanmu, Pik.”
“Kaget kenapa?”
“Kau telah melepaskan begitu saja cintamu. Bahkan seseorang yang kau anggap sebagai bidadari kecilmu.”
“Sudahlah, Rul. Aku sendiri tak yakin dengan ceritamu. Maksudku tak yakin dengan apa yang Fitri ucapkan padamu tentangku.”

Ucapan Nurul tersebut begitu menembus jantungku. Perih, seperti perih kehidupan yang sedang kujalani dan kusembunyikan dari siapapun termasuk dari Nurul. Tapi entah kenapa kini aku seperti melihat harapan bahwa keperihan ini akan segera usai. – (GAMBAR HIASAN)
“Itu terserah dirimu, Pik. Tapi sebagai teman kecilmu dan aku sangat tahu siapa kamu, juga siapa Fitri, aku berpendapat ini adalah sebuah kesalahan kita semua di masa lalu. Kau tahu sendiri, butuh beberapa tahun saat itu Fitri dalam kesendirian dan kau tak lagi datang padanya lalu ia memutuskan untuk mengambil jalan sendiri setelah memberi isyarat yang jelas.”
“Terima kasih atas rasa perhatian, kepedulian, dan empatimu, Rul.”
“Ya, semoga setelah sekian musim berlalu, Fitri dan kau bahagia menatap masa depan di jalan masing-masing.”
Ucapan Nurul tersebut begitu menembus jantungku. Perih, seperti perih kehidupan yang sedang kujalani dan kusembunyikan dari siapapun termasuk dari Nurul. Tapi entah kenapa kini aku seperti melihat harapan bahwa keperihan ini akan segera usai. Ada sesuatu yang membuat semangatku bangkit. Keinginan, harapan, dan cita-cita adalah sesuatu yang harus aku perjuangkan, bukan sekadar pasrah pada keadaan. Sosok Fitri telah menjadi suatu pelajaran. Aku lalu melihat bayangan Fitri melintas dengan senyuman, senyum yang meninggalkan pertanyaan dan rasa penasaran.***
Biodata
MAHAN Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO).
Saat ini bergiat di komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua.
Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id.
Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Tanjungpinang Pos, Medan Pos, Pontianak Pos, Solopos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Lampung News, Dinamika News, Cakra Bangsa, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, iqra.id, labrak.co, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, Radar Bromo, Radar Malang, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama.
Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)